Menjadi seorang kicau mania tidak berarti kita dengan bebas memilih jenis burung yang dipelihara, ada beberapa jenis burung yang memang bisa dijadikan sebagai burung peliharaan tetapi ada juga beberapa jenis termasuk burung yang harus tetap di alam nya ( habitatnya ) sebagai langkah untuk menjaga keseimbangan alam. Jika hal tersebut dilanggar, maka tidak mustahil kejadian seperti serangan hama wereng, serangan ribuan ulat dan serangan tomcat akan kembali terjadi di bumi Nusantara ini. Dan kebetulan saya membaca salah satu kisah yang menarik yang mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi bagi kicau mania di indonesia untuk lebih menghargai alam.
Selamat menyimak:
Setelah berhenti dari SMA yang hanya dicicipinya selama 3 semester akibat ketiadaan biaya, Darto sulung dari tiga bersaudara bekerja serabutan guna meringankan beban ibunya yang sudah janda dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Khususnya, untuk membiayai sekolah dua adiknya yang masih duduk di kelas 5 dan 6 sekolah dasar.
Di saat-saat tidak ada pekerjaan yang ditawarkan orang padannya Darto menghabiskan waktu untuk menangkap (berburu) burung di semak belukar di atas perbukitan tak jauh dari kampungnnya. Burung-burung hasil buruannya itu dijualnya ke penadah di pasar. Hasilnya, lumayan. Dalam sehari dia bisa menangkap 2-3 ekor burung. Jika sedang mujur,ada kalanya burung yang tertangkap itu dari jenis yang sangat digemari orang sehingga dia bisa membawa pulang uang hingga ratusan ribu rupiah.
Merasakan betapa mudahnya memperoleh uang dengan berburu burung, akhirnya pekerjaan yang awalnya hanya sebagai pengisi waktu “nganggur” itu pun ditekuninya sebagai mata pencaharian. Darto pun mendapat julukan dari orang kampungnya dengan sebutan “Darto Burung”.
Tak terasa sudah tiga tahun Darto menjalani profesi pemburu burung. Berkat jerih payahnya itu kedua adiknya pun bisa melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang SMP. Selama itu semuanya berjalan normal dan lancar-lancar saja, sampai suatu hari….
“Ada apa Dar, kok kamu tampak lesu sekali?” tanya ibunya menyambut kedatangan Darto yang pada hari itu pulang lebih awal.
“Kalo lagi gak dapat tangkapan ya gak usah sedih, mungkin belum rejeki” hibur ibunya.
“Lho, itu mata mu kok sembab seperti orang yang habis menangis? tanya ibunya setelah Darto melepaskan topi capingnya.
Tanpa menjawab pertanyaan ibunya, Darto justru mengambil kurungan burung hasil tangkapan selama dua hari yang belum sempat dijualnya.
“Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku” gumam Darto sambil terisak dengan tatapan mata penuh sesal ke arah burung-burung di dalam kurungan tersebut. Bersamaan dengan ucapan mohon maaf itu tangan Darto membuka tutup kurungan dan membiarkan burung-burung di dalamnya beterbangan
“Kenapa kamu Nak, apa yang terjadi? Kenapa burung-burung itu kamu lepaskan? Itukan uang, hasil jerih payah mu sendiri, Nak” desak ibunya yang tidak mengerti dan mulai kuatir dengan keadaan anak sulungnya itu.
Setelah semua burung di kurungan itu habis beterbangan kembali ke alam bebas, barulah Darto berpaling ke arah Ibunnya.
“Maafkan Darto, ya Bu” jawab Darto lirih.
“Aku sengaja melepaskan burung-burung itu untuk menebus dosa ku kepada semua burung-burung yang aku tangkap dan kujual. Soal nilai uangnya, biarlah aku cari pekerjaan lain untuk menggantinya” lanjut Darto memulai kisah “pertobatannya” itu.
Ini kisahnya:
Dua hari sebelumnya saat berburu Darto menemukan sebuah sarang burung yang di dalamnya ada dua ekor anaknya yang masih merah, belum berbulu. Darto tahu bahwa sarang dan anak burung tersebut adalah dari jenis yang banyak penggemarnya dan berharga cukup mahal, karena itu dia putuskan untuk menangkap induknya.
Darto lalu memasang jebakan menggunakan “pulut” (getah yang bisa lengket seperti permen karet). Pulut itu dia lumurkan pada ranting di sekeliling mulut sangkar dimana sang induk pasti akan menginjaknya saat memberi makan anaknya atau sebelum masuk ke sarang.
Sebelum menemukan sarang itu Darto telah memasang banyak jebakan lain di sekitarnya. Ada yang dipasang di sekitar pohon yang sedang berbuah masak, ada yang dipasang di didekat genangan air, ada pula yang dipsang di dekat sarang rayap.
Menjelang sore, tibalah waktunya Darto “memanen” hasil jebakan-jebakan yang dipasangnya. Luar biasa. Hari itu dia dapat tujuh ekor burung dari berbagai jebakan yang dia pasang. Sayangnya dia lupa telah memasang jebakan di mulut sarang burung yang ada anaknya, sehingga tidak mendatangi jebakan tersebut.
Hari itui Darto pulang dengan perasaan girang bukan kepalang, tangkapan hari itu adalah rekor baru baginya. Karena merasa sisa uang hasil penjualan terakhir masih ada, Darto memutuskan untuk menunda menjualnya, dan beristiraht sehari. Itu sebabnya burung-burung tersebut dia masukkan ke dalam kurungan.
Dua hari kemudian dia kembali berburu ke kawasan yang sama dan dengan cara yang sama. Selesai memanen 3 ekor burung hasil jebakan hari itu teringatlah Darto akan pulut yang dia pasang di sarang yang berisi dua anak burung yang masih merah tadi.
Benar dugaan Darto, induk burung terjebak pulut dengan mudah. Bukan hanya kedua kakinya, tetapi juga bulu-bulu tubuh dan sayap burung tersebut lengket pada ranting berpulut.
Yang tidak terpikirkan oleh Darto saat memasang pulut adalah masa depan si anak burung. Satu dari tiga anak burung tersebut telah mati, satu lagi sedang sekarat, sementara seekor sisanya tak lagi mampu menangkat kepalanya meski masih bisa mencicit memanggil indukknya.
Menyaksikan pemandangan itu, seperti orang yang baru terbangun dari tidur, kesadaran hakiki Darto sebagai makhluk beradab pun sontak tersentuh. Rasa bersalah itu menusuk kalbunya yang paling dalam, sehingga tanpa dia sadari matanya telah basah, Darto pun tersedu.
Yang lebih membuat Darto sangat terharu sehingga menyebabkan matanya sembab akibat tangis, adalah ketika mendapati di paruh induk burung, yang sudah sangat lemah akibat terus meronta ingin melepaskan diri dari jebakan pulut itu, masih terselip makanan yang akan disuapkan siinduk kepada anak-anaknya. Luar biasa. Dalam keadaan tubuh terikat, di saat kepastian hidup tidak jelas, si induk burung tidak membuang atau menelan makanan yang dia peruntukkan bagi anak-anaknya.
“Maafkanlah aku… maafkan aku…aku menyesal..“ ratap Darto di hadapan anak-anak burung yang akhirnya mati itu,
Kenyataan di depan matanya ini membuat Darto bersumpah: - Pertama, mulai saat itu dia berhenti menjadi pemburu burung dan tidak akan menyakiti hewan-hewan lainnya.
- Kedua, bahwa dia akan menegakkan rasa tanggung jawab dan arti cinta seperti si induk burung itu terhadap keluarganya.
Itulah Kisah “Darto Burung” yang bertobat menjadi pemburu burung.
Sumber:Kanedi-Fiksi.kompasiana.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kisah inspirasi : pertobatan Darto si pencari burung"
Post a Comment